lphkht@muhammadiyah.id +(62) 812-1100-3241

Mengandung Babi, Kenapa Bisa Keluar Sertifikat Halal?

marshmallow

Mengandung Babi, Kenapa Bisa Keluar Sertifikat Halal?

Pendahuluan

Judul tulisan di atas saya buat berdasarkan pertanyaan yang sampai kepada saya serta pertanyaan viral, yakni, “Ada babi, kenapa bisa keluar sertifikat halal?” Kekecewaan konsumen Muslim yang peduli terhadap kehalalan produk tentu bisa dimaklumi. Pasalnya, ke mana lagi konsumen Muslim akan merujuk jaminan halal suatu produk jika bukan pada logo halal yang tertera pada kemasan produk tersebut.

Produk yang mengandung babi tentu tidak mungkin mendapatkan sertifikat halal. Itu adalah suatu kepastian. Namun, produk yang memiliki sertifikat halal tidak serta-merta otomatis memiliki jaminan produk halal yang berlaku seumur hidup. Sertifikat Halal dan Jaminan Produk Halal adalah dua frasa yang berbeda maknanya. Sertifikat halal memberikan jaminan kehalalan produk ketika semua kriteria persyaratan halal terpenuhi. Sebaliknya, jika persyaratan halal diabaikan, maka jaminan produk halal pun tidak terpenuhi. Dengan demikian, sertifikat halal bukan sekadar selembar kertas pemanis, tetapi menunjukkan komitmen pelaku usaha untuk menjaga amanah tertulis dalam sertifikat tersebut.

Di Indonesia, pemenuhan jaminan produk halal melalui sertifikasi dinamakan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 20 Tahun 2023. Tulisan ini menguraikan beberapa aspek yang perlu dicermati demi perbaikan proses sertifikasi halal dan sistem pengawasan, terutama terkait mekanisme uji laboratorium.

Skema Sertifikasi Halal di Indonesia

Pasca-pemberlakuan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH), sertifikasi halal terbagi menjadi dua skema, yaitu skema reguler dan self-declare (SD). Pada skema reguler, terdapat tiga entitas yang terlibat, yaitu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), BPJPH, dan Komisi Fatwa MUI. Sementara itu, skema SD melibatkan LP3H (Lembaga Pendampingan Proses Produk Halal), P3H (Pendamping Proses Produk Halal), serta Komite Fatwa di bawah Kementerian Agama. Ruang lingkup SD hanya untuk produk usaha mikro yang berisiko rendah.

Dalam konteks ditemukannya DNA babi pada sembilan produk, produk tersebut melewati skema sertifikasi halal reguler yang dilakukan oleh LPH utama. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas beberapa faktor penting untuk perbaikan, yakni pembagian tugas antara BPJPH (verifikasi data awal), LPH (proses audit), dan Komisi Fatwa MUI (penetapan fatwa berdasarkan laporan audit).

Audit vs. Penyelia Halal

LPH melakukan audit eksternal untuk memastikan lima kriteria SJPH diterapkan pelaku usaha sesuai proses bisnisnya. Kriteria penting dari SJPH adalah komitmen dan tanggung jawab manajemen serta tim halal yang kredibel.

Selain tim manajemen halal, keberadaan Penyelia Halal (PH) menjadi faktor krusial. Regulasi seperti UU JPH, PMA No. 26 Tahun 2019, dan PP No. 42 Tahun 2024 secara jelas mengatur tugas dan tanggung jawab PH, antara lain:

  • Mengawasi proses produk halal (PPH)
  • Menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan
  • Mengoordinasikan PPH
  • Mendampingi auditor halal saat pemeriksaan

Tanggung jawab PH meliputi memastikan kehalalan bahan baku hingga mengusulkan penghentian produksi yang tidak memenuhi syarat halal. Sebelum audit eksternal oleh LPH, pelaku usaha harus memastikan audit internal berjalan dengan baik dan PH menjalankan fungsinya secara efektif. Catatan atas efektivitas PH harus menjadi pertimbangan LPH, Komisi Fatwa MUI, dan BPJPH saat mengeluarkan sertifikat halal.

Sampling vs. PPC

Untuk produk kritis dari perspektif halal, Komisi Fatwa MUI (KF MUI) menetapkan kewajiban uji laboratorium untuk membuktikan ada tidaknya cemaran babi (DNA babi). Berdasarkan Fatwa MUI No. 80 Tahun 2022, produk yang menggunakan gelatin wajib diuji laboratorium. Sayangnya, fatwa ini belum menjadi regulasi resmi BPJPH.

Laboratorium yang digunakan harus terakreditasi ISO 17025 dan tergabung dalam konsorsium BPJPH. Selain itu, petugas pengambil contoh (PPC) harus tersertifikasi. PPC bertugas membuat rencana sampling dan mendokumentasikan kegiatan tersebut secara akurat.

Sertifikat Halal vs. Pengawasan BPJPH

BPJPH bertanggung jawab penuh atas sertifikat halal yang diterbitkan. Pengawasan yang efektif oleh BPJPH tercantum dalam PP No. 42 Tahun 2024, terutama terkait laporan perubahan bahan baku dan proses produk halal secara berkala (setiap 6 bulan). Saat ini, pelaporan tersebut masih dilakukan melalui registrasi, dengan biaya tambahan yang cukup tinggi.

BPJPH juga bertanggung jawab untuk mengevaluasi kinerja LPH dalam memastikan pelaksanaan SJPH. Pemantauan harus berbasis pendekatan risiko (risk-based approach) terhadap produk bersertifikat halal, khususnya produk berisiko tinggi. Peran Penyelia Halal di perusahaan harus diberdayakan untuk memastikan penerapan SJPH berjalan optimal.

Penutup

Selain masalah perbedaan hasil uji laboratorium, kami mengusulkan beberapa langkah perbaikan:

  1. Memastikan Penyelia Halal berfungsi sesuai regulasi.
  2. Menegaskan tanggung jawab LPH dalam pelaksanaan sampling.
  3. Menyediakan fasilitas pelaporan pelaksanaan SJPH oleh BPJPH.
  4. Menetapkan dan menyosialisasikan indikator pengawasan JPH.
  5. Melakukan uji petik produk berisiko tinggi secara kolaboratif antara BPJPH dan BPOM.

Jaminan produk halal adalah tanggung jawab bersama antara LPH, BPJPH, Komisi Fatwa, dan pelaku usaha. Integrasi penuh diperlukan untuk menghasilkan JPH yang tepercaya dan akuntabel.

Oleh Elvina A. Rahayu
Direktur Bidang Sertifikasi dan Kerja Sama Dalam/Luar Negeri, LPH-KHT Muhammadiyah
Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia

Hubungi Kami

Hubungi kami sekarang juga untuk informasi lebih lanjut dan mulai proses sertifikasi halal usaha Anda!

Telepon: 081211003241
Email: lphkht@muhammadiyah.id
Alamat: Jl. Menteng Raya No. 62

Lorem Ipsum

Leave Your Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

©Copyright 2025 LPH-KHT Pimpinan Pusat Muhammadiyah